Ritual Aneh, Ratusan Warga Perang Lempar Nasi
21 Sep 2012
0
komentar
Ritual Aneh, Ratusan Warga Perang Lempar Nasi
Ritual yang digelar di punden Dusun Tambakselo, Desa Planglor, Kecamatan Kedunggalar, Kabupaten Ngawi tergolong aneh.
Pasalnya, dalam menjalankan setiap ritual, nasi yang dibawa peserta ritual selalu dimakan dan sebagian digunakan makan bersama. Namun tidak demikian, di kampung yang tergolong berdekatan dengan hutan jati ini.
Nasi yang dibungkus dalam daun pisang dan jati itu, ditumpuk di tengah acara ritual. Selanjutnya, usai diberi doa-doa oleh sesepuh desa setempat, jutsru nasi itu digunakan bahan untuk perang nasi di tanah lapang sekitar lokasi punden desa itu dengan peserta mulai dari kalangan anak-anak, remaja, orang dewasa, hingga kalangan orangtua.
Padahal, ritual yang selama ini disebut warga nyadran keselamatan dan meminta berkah atas hasil panen berlimpah ini, juga untuk mendapatkan berkah dan ridlo Allah SWT.
Salah seorang toko masyarakat setempat, Martono mengatakan semua peserta ritual membawa nasi yang dibungkus sebagian daun pisang dan sebagian lagi daun jati termasuk lauk pauknya. Bahkan dirinya sendiri juga membawa lauk pauk lengkap beserta nasinya. Setelah dikumpulkan menjadi sekitar 7 gungan nasi bungkus, kemudian warga mengitarinya dan membacakan doa-doa. Seusai doa, langsung dilaksanakan perang nasi dengan cara melempar nasi bebas ke arah mana pun dan ke siapa pun.
"Catatannya tidak ada dendam antar peserta meski kena lempar nasi sebesar kepalan tangan," terangnya kepada Surya Online, Jumat (14/9/2012) usai ritual.
Selain itu, Martono mengungkapkan jika awalnya sejak jaman nenek moyangnya ritual di pundem desa nasinya hanya digunakan ritual, didoakan dan kemudian di makan bersama peserta ritul. Namun, sekitar 15 tahun lalu, usai nasi didoakan di pundem nasi dan lauknya tidak dimakan warga bersama-sama lagi. Akan tetapi, sejak 15 tahun terakhir tradisi ini diubah dengan perang nasi.
Tradisi ritual ini diilhami maraknya anak muda yang sering bertengkar dan tawuran. Oleh karenanya pertama kali ritual dilaksanakan guna untuk mengurangi kenakalan remaja dalam bentuk tawuran diganti dengan ritual saling lempar nasi.
"Perang nasi ini hanya untuk menjalin keakraban dan persaudaraan. Demi begitu, semua unek-unek peserta terlampiaskan dan tidak ada dendam dengan warga lainnya," tegasnya.
Sementara, Kepala Desa Planglor, Suyadi menegaskan jika tradisi ini akan dilaksanakan setiap jumat legi setiap setahun sekali seusai lebaran. Tradisi itu, sudah dilaksanakan turun temurun sejak jaman nenek moyangnya penghuni awal di desanya. Tradisi ini, kata Kades untuk mendapatkan berkah dan keselaman bagi warganya. Selain itu, sebagai bentuk rasa syukur atas hasil panen yang melimpa kemarin.
"Memang untuk perang nasi ini, efektif dapat mengurangi tawuran antar remaja di kampung kami. Karena dulunya nasi hanya dibuat ritual dan didoakan sekarang dibuat perang nasi," urainya.
Sementara, usai mengikuti perang nasi sebagian warga memunguti sisa nasi yang masih bisa diselamatkan dari tumpukan nasi yang berserakan dan berceceran di sekitar punden desa. Namun, warga memungut sisa nasi ini bukan untuk dimakan akan tetapi untuk dikeringkan digunakan untuk pakan ternak.
"Kami kumpulkan sisanya untuk pakan ternak ayam dan unggas kami di rumah," tandas Sayinem (37) warga setempat.
Pasalnya, dalam menjalankan setiap ritual, nasi yang dibawa peserta ritual selalu dimakan dan sebagian digunakan makan bersama. Namun tidak demikian, di kampung yang tergolong berdekatan dengan hutan jati ini.
Nasi yang dibungkus dalam daun pisang dan jati itu, ditumpuk di tengah acara ritual. Selanjutnya, usai diberi doa-doa oleh sesepuh desa setempat, jutsru nasi itu digunakan bahan untuk perang nasi di tanah lapang sekitar lokasi punden desa itu dengan peserta mulai dari kalangan anak-anak, remaja, orang dewasa, hingga kalangan orangtua.
Padahal, ritual yang selama ini disebut warga nyadran keselamatan dan meminta berkah atas hasil panen berlimpah ini, juga untuk mendapatkan berkah dan ridlo Allah SWT.
Salah seorang toko masyarakat setempat, Martono mengatakan semua peserta ritual membawa nasi yang dibungkus sebagian daun pisang dan sebagian lagi daun jati termasuk lauk pauknya. Bahkan dirinya sendiri juga membawa lauk pauk lengkap beserta nasinya. Setelah dikumpulkan menjadi sekitar 7 gungan nasi bungkus, kemudian warga mengitarinya dan membacakan doa-doa. Seusai doa, langsung dilaksanakan perang nasi dengan cara melempar nasi bebas ke arah mana pun dan ke siapa pun.
"Catatannya tidak ada dendam antar peserta meski kena lempar nasi sebesar kepalan tangan," terangnya kepada Surya Online, Jumat (14/9/2012) usai ritual.
Selain itu, Martono mengungkapkan jika awalnya sejak jaman nenek moyangnya ritual di pundem desa nasinya hanya digunakan ritual, didoakan dan kemudian di makan bersama peserta ritul. Namun, sekitar 15 tahun lalu, usai nasi didoakan di pundem nasi dan lauknya tidak dimakan warga bersama-sama lagi. Akan tetapi, sejak 15 tahun terakhir tradisi ini diubah dengan perang nasi.
Tradisi ritual ini diilhami maraknya anak muda yang sering bertengkar dan tawuran. Oleh karenanya pertama kali ritual dilaksanakan guna untuk mengurangi kenakalan remaja dalam bentuk tawuran diganti dengan ritual saling lempar nasi.
"Perang nasi ini hanya untuk menjalin keakraban dan persaudaraan. Demi begitu, semua unek-unek peserta terlampiaskan dan tidak ada dendam dengan warga lainnya," tegasnya.
Sementara, Kepala Desa Planglor, Suyadi menegaskan jika tradisi ini akan dilaksanakan setiap jumat legi setiap setahun sekali seusai lebaran. Tradisi itu, sudah dilaksanakan turun temurun sejak jaman nenek moyangnya penghuni awal di desanya. Tradisi ini, kata Kades untuk mendapatkan berkah dan keselaman bagi warganya. Selain itu, sebagai bentuk rasa syukur atas hasil panen yang melimpa kemarin.
"Memang untuk perang nasi ini, efektif dapat mengurangi tawuran antar remaja di kampung kami. Karena dulunya nasi hanya dibuat ritual dan didoakan sekarang dibuat perang nasi," urainya.
Sementara, usai mengikuti perang nasi sebagian warga memunguti sisa nasi yang masih bisa diselamatkan dari tumpukan nasi yang berserakan dan berceceran di sekitar punden desa. Namun, warga memungut sisa nasi ini bukan untuk dimakan akan tetapi untuk dikeringkan digunakan untuk pakan ternak.
"Kami kumpulkan sisanya untuk pakan ternak ayam dan unggas kami di rumah," tandas Sayinem (37) warga setempat.
0 komentar:
Posting Komentar